[One-Shot] As Another Woman

Ada yang suka couple LuYoon? Well, I wrote a oneshot about them so enjoy yourself reading it and don’t forget to leave a comment, okay?

 

Image

As Another Woman
Im Yoona – Xi Luhan

 

Im Yoona, seorang wanita berusia sekitar 28 tahunan duduk diam di sebuah ayunan yang berada di belakang teras rumahnya. Wanita itu memiliki semua yang wanita lain inginkan: harta, rumah, pekerjaan, suami dan… keluarga.

Wanita itu mengeluarkan desahan berat, mengisyaratkan bahwa dia memiliki hari yang begitu berat. Sesekali wanita itu menyisir rambutnya dengan jemarinya yang lentik dan memijit keningnya yang bahkan tidak terasa pusing sedikitpun.

“Nyonya, Tuan sudah pulang,” pembantu keluarga mereka yang sudah bekerja bahkan sebelum Yoona lahir, menyadarkan wanita dari lamunan panjangnya. Dia menutup buku yang sedari tadi berada di tangannya dan tersenyum hangat kepada wnaita paruh baya itu.

“Arasso,” ucapnya singkat kemudian bangkit dan membenarkan pakaiannya yang sedikit kusut. Dia mengehmbuskan nafas panjang kemudian ‘memasang’ senyuman manis di wajahnya, senyuman yang hanya dia tunjukkan ketika suaminya sednag berada di dekatnya.

“Selamat datang,” sapa Yoona pada suaminya yang tersenyum dengan kehadiran istrinya. Yoona mengambil tas kerja suaminya, membantunya melepaskan jas yang sedikit lembab karena keringat dan membukakan dasi suaminya.

“Hari yang berat, ada beberapa file yang… kacau.” ujarnya. Yoona memberikan tatapan ‘benarkah?’ kemudian memijit pelan pundak suaminya.

“Apa yang terjadi?” tanya Yoona.

“Sekretaris baruku, dia membuatku menandatangani dokumen yang salah. Itu adalah kesalahan fatal.”

“Mungkin itu terjadi karena dia masih baru dengan pekerjaan ini, beri dia sedikit keringanan,” Yoona berucap pelan, nada bicaranya tidak mengisyaratkan bahwa dirinya menentang pendapat Luhan, suaminya, namun dia hanya ingin suaminya menjadi sedikit tenang.

Luhan berbalik dan mencium pipi istriya, “itu sebabnya aku belum memecatnya,” Luhan tersenyum. Yoona balas mencium pipi suaminya dan menarik tangan Luhan menuju kamar mereka. “Kau harus mandi, aku sudah menyiapkan air hangat untukmu.”

“Kau memanglah yang terbaik, Yoong.” Luhan mencium Yoona lagi, kali ini tepat di bibirnya. Wajah Yoona memerah namun dia tidak bias menyembunyikan senyum bahagianya. “Aku tahu.”

 * * *

Yoona terbangun karena cahaya lampu tidur yang masih menyala. Dia mengusap-usap matanya dan mendapati suaminya yang tengah duduk di sebuah kursi besar yang terletak di sudut kamarnya. Luhan, suaminya, memegang sebuah foto di tangannya. Wajahnya basah karena air mata. Luhan sesekali sesegukan walaupun Yoona tahu dia berusaha keras untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Yoona menutup matanya dan melanjutkan tidurnya, memutuskan untuk memberikan suaminya waktu untuk sendiri.

 * * *

“Pagi,” sapa Luhan yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Dia mencium kepala Yoona yang sedang mengoleskan selai di atas roti.

“Kau ingin makan apa? Nasi atau roti?” tanya Yoona sambil tetap melakukan aktivitasnya.

“Aku tidak terlalu nafsu makan pagi ini, roti saja cukup,” jawab Luhan sembari meneguk kopi nya.

“Bagaimana tidurmu semalam, yeobo?” tanya Yoona, nada bicaranya sangat hati-hati.

“Baik,” jawab suaminya pelan. “Bagaimana denganmu?” tanyanya. Yoona hanya mengangguk tanpa menjawab apa-apa. Setelah selesai, dia memberikan 2 potong roti dengan selai kacang dicampur cokelat kepada suaminya. Luhan tersenyum gembira karena itu adalah makanan kesukaannya.

“Hari ini aku akan pergi ke luar bersama Sooyoung onnie,” ujar Yoona. Dirinya tidak sedang meminta izin kepada suamminya, Yoona hanya sekedar ‘memberi tahu’.

“Oya? Bersama Sooyung noona? Kalian akan pergi kemana?” tanya Luhan sambil melahap rotinya.

“Kau tidak ingat? Hari ini adalah peringatan kepergian Seohyun yang ketiga,” Yoona berkata dengan sedikit sarkastik. Luhan mengganggukkan kepalanya dengan pelan, “ah, benarkah? Tidak terasa sudah 3 tahun. Kalau begitu pergilah. Kau tidak akan pulang malam kan?” Luhan berkata singkat.

Yoona menatap suaminya dengan tatapan tidak percaya namun dia tetap mengangguk menanggapi kata-kata Luhan. “Ya, aku tidak akan lama-lama.” Atau mungkin aku tidak akan pernah kembali lagi.

 * * *

Pergi bersama Sooyoung hanyalah alasan bagi Yoona agar Luhan membiarkannya pergi hari ini. Yoona yang datang ke makan Seohyun sendirian hanya menatap foto Seohyun dengan tatapan kosong. Dirinya ingin  teriak, marah bahkan memaki-maki namun dia sadar bahwa itu semua tidak ada gunanya, Seohyun tidak akan pernah mendengar atau bahkan meresponnya. Walaupun Yoona sudah menganggap Seohyun seebagai adik kandungnya sendiri sejak lama, namun tetap saja Yoona membencinya karena Seohyun lah yang telah menyeretnya ke neraka yang sedang dia jalani sekarang.

“Kau, apa kau sedang tertawa melihatku sekarang? Apa kau puas karena kau sudah menyeretku ke  neraka bersamamu? Jawab aku, Seo Joohyun. JAWAB AKU!” Yoona, yang sudah tidak bisa menahan emosinya, berteriak dengan kencang.

 * * *

“Apa perlu kau menyiksaku seperti ini? Apa? Apa salahku padamu? Aku menyayangimu, Seohyun, aku menyayangimu,” Yoona terjatuh karena kedua kakinya sudah tidak mampu lagi menahan berat tubuhnya.

“Kenapa… kenapa kau harus mengambil satu-satunya orang yang aku cintai? Kenapa, bahkan setelah kau pergi, dia tetap tidak melihatku? Semuanya selalu tentang dirimu! Dia melihatku sebagai kau, Seohyun. Aku muak dengan semua ini? Kenapa kau tidak membiarkanku 3 tahun yang lalu? Kenapa kau harus menarikku dan membiarkanku hidup di nereka seperti ini?” Yoona kembali terisak.

“Kau tahu? AKu sudah tidak menginginkannya lagi. Kau boleh mengambilnya jika kau mau, aku tidak peduli. Aku tidak mau lagi menjadi istri yang pura-pura bahagia, memasang senyuman palsu dan bodoh untuk menyambut suami yang bahkan tidak ingin disambut olehku. Aku tidak ingin menjadi istri dari laki-laki yang setiap malam selalu menangis memandangi foto wanita lain, kau. Ambil Seohyun, ambil semuanya. AKu sudah tidak membutuhkan semua itu lagi! Kau mendengarku?”

Dengan itu, Yoona kembali menangis terisak dan memeluk tubuhnya dengan erat.

 

Seorang laki-laki berperawakan tidak terlalu tinggi, dengan wajahnya yang kecil dan rambutnya yang sedikit berwarna kecokelatan, berjalan dengan langkah yang amat pelan seakan dirinya menolak untuk dating ke tempat ini.

Dia membawa sebuket bunga lili di tangannya lengkap dengan wajahnya yang basah dengan air mata. Pria itu berusaha untuk melangkah tegap, namun kepalanya terasa begitu berat untuk diangakat. Beberapa kali dia menarik dan menghembuskan nafas tidak melalui hidung, melainkan melalui mulutnya.

Setelah terasa begitu lama akhirnya lelaki itu tiba di depan sebuah gundukan besar yang dipenuhi oleh rumput-rumput yang terawatt dengan baik. Dia meletakkan bungan lili yang dibawanya kemudian menundukkan kepalanya.

“Apa kabar, Seohyun-ah?  Tidak terasa sudah 1 tahun sejak terakhir kali aku menemuimu,” Luhan berhenti ebentar, berusaha mengatur nafasnya dengan baik kemudian melanjutkan pidato yang sudah dia siapkan sejak lama, “aku… memikirkan hal ini sepanjang malam. AKu tahu bahwa aku tidak seharusnya bersikap seperti ini… sejak 3 tahun yang lalu,” Luhan mengeluarkan seuara tawa kecil, “aku bodoh, benar kan? Aku rasa, sudah saatnya untukku melepaskanmu, Seohyun-ah. Aku tahu aku sudah sangat jahat kepadanya untuk 3 tahun terakhir ini, tapi apa yang bias aku lakukan? Aku juga snagat inign melupaknmu sejak bertahun-tahun yang lalu tapi aku… itu tidak mudah. Kau adalah cinta pertamaku dank au juga meninggalkanku begitu cepat.

Jujur saja selama ini aku selalu menyalahkannya, aku menyalahkannya atas kematianmu. Seandainya kau tidak menariknya, seandainya kau membiarkan dia yang tertabrak truk waktu itu, maka kau tidak akan berada disini, disana. Kau dan aku akan menikah dan hidup bahagia hingga kita tua nanti. Aku tidak peduli apa yang seharusnya terjadi padanya karena aku hanya membutuhkan dirimu. Tapi sejak 1 tahun yang lalu, ketika dia berusaha untuk bunuh diri untuk menebus kesalahannya padaku, padamu, aku sadar bahwa aku sedikit demi sedikit sudah melupakanmu.

Ruang khusus yang ada didalam hatiku, yang seharusnya hanya untukmu, perlahan sudah tergantikan olehnya. Aku sangat takut kehilangan dia, aku tidak ingin mengalami kehilangan untuk yang kedua kalinya. Aku selalu terjaga pada malam hari hanya untuk memastikan bahwa dia masih bernafas. Walaupun tidak mudah bagiku untuk mengatakn hal itu langsung kepadanya namun aku yakin kau pasti mengerti apa maksudku, kan? Aku rasa aku sudah mulai jatuh cinta padanya.” Luhan tersenyum manis.

“Jika 2 tahun terakhir aku mengunjungimu sebagai laki-laki yang mencintaimu, maka kali ini aku dating sebagai laki-laki yang pernah mencintaimu, sebagai sahabat yang emminta restu darimu agar aku dapat mencintai dan menjalani hidup yang bahagia dengan wanita yang aku cintai saat ini, dan untuk selamanya.” Luhan mengelus pelan gundukkan itu dan air matanya jatuh perlahan. Namun sesuatu menarik perhatian Luhan. Sebuah kertas berwarna putih tanpa amplop terletak begitu saja tepat dibawah kakinya.

Luhan mengambil kertas itu dan dirinya tersentak kaget ketika dia mendapati tulisan ‘untuk suamiku tercinta’ di kertas itu. Detak jantung Luhan terasa terhenti. Dengan tangan gemetar, dia membuka surat itu dan membacanya huruf demi huruf. Matanya terbelalak karena tulisan yang ada di kertas itu tidak lain dan tidak bukan adalah tulisan tangan milik istrinya, tulisan yang betul-betul dia kenali.

Untuk Xi Luhan, suamiku.

 

Ketika kau membaca surat ini, mungkin kau bias bernafas lega karena aku tidak akan pernah mengganggumu lagi. Aku minta maaf karena aku telah membawamu ke dalam kehidupan yang penuh dengan derita bersamaku. Aku tahu dan sadar bahwa aku adalah wanita yang egois. Kehilangan Seohyun nampaknya belum cukup bagiku untuk membuatmu menderita, aku bahkan memaksamu menikah denganku. Aku minta maaf. Selama 3 tahun pernikahan kita, aku menyadari bahwa aku tidak akan pernah bias menggantikan Seohyun di hatimu, aku tidak akan pernah bias menjadi Seohyun dengan sempurna di matamu. Tapi aku benar-benar tidak ingin menjadi sosok lain, aku ingin menjadi diriku sendiri, berharap suatu saat kau akan menyadari bahwa aku ada tanpa harus berpura-pura menjadi sosok wanita lain, Seohyun. Tapi akhirnya aku sadar bahwa hal itu semuanya percuma.

 

Menjadi Seohyun atau menjadi diriku sendiri tidak akan pernah membuatmu melihatku, aku dimatamu hanyalah kabut yang menghalangi pemandangan indah darimu. Namun aku tidak pernah menyesal telah menikah denganmu, faktanya aku bahagia bias menghabiskan waktu 3 tahun terakhir ini bersamamu. Melihat wajahmu ketika aku bangun tidur, merasakan bibirmu yang mencium keningku setiap pagi sebelum kau berangkat kerja sudah cukup membuatku bahagia. Namun setiap malam, ketika aku mendengarmu menangis sambbibl memegang foto Seohyun membuatku sadar bahwa hanya akulah yang bahagia. Kau… dirimu sama sekali tidak bahagia, suamiku, kau tersiksa karena permainan egoisku ini.

Karena itu lah, mulai saat ini au memutuskan untuk melepaskanmu, melepaskanmu dari jerat setan yang selama ini ku mainkan. Aku sadar bahwa sudah seharusnya aku melepaskanmu dari dulu tapi apa yang bisa ku lakukan? Aku hanyalah manusia yang tidak dapat menahan rasa ingin memiliki dirimu.

 

Aku… mencintamu, suamiku. Sejak pertama aku bertemu denganmu, aku sudah mencintaimu. Aku menyukai sikapmu yang lembut, tutur bicaramu yang sopan, senyumanmu yang manis dan caramu memperlakukan ku. Sejak saat itu aku membuat janji pada diriku sendiri bahwa orang yang akan menjadi suamiku kelak adalah kau. Namun ketika tahu bahwa kau sudha lebih dulu mencintai Seohyun membuatku putus asa dan kalah dalam permainan yang telah ku ciptakan sendiri dengan diriku. Sejak saat itu aku sadar bahwa aku benar-benar tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkanmu karena wanita yang kau cintai adalah Seohyun, wanita paling sempurna di dunia ini. Aku sadar bahwa aku tidka mungkin bisa menandingi nya, membayangkannyapun aku tidak mampu. Dan ketika Seohyun  pergi karena dia menyelamatkanku, aku bisa melihat dari tatapan matamu bahwa kau sepenuhnya menyalahkanku atas kejadian itu. Aku bisa melihat kebencian yang mendalam yang terpancar dari matamu ketika kau melihat bahkan hanya dengan mendengar namaku.

 

Dan ketika kau memintaku untuk menikah denganmu, aku sangat senang, seakan harapan yang telah mati seketika hidup kembali. Namun aku sadar, itu hanyalah cara Tuhan untuk membalas semua perbuatanku kepadamu dan Seohyun. Tuhan menghukumku dengan menjadikanku sebagai istrimu, istri yang bahkan tidak ada di mata suaminya. Karena itu, saat ini aku sudah sadar sepenuhnya dan aku akan melepaskanmu, suamiku. Aku akan melepaskanmu dari permainan ini. Aku akan melepaskanmu dan membiarkan dirimu hidup dengan tenang tanpa diriku. Jaga dirimu baik-baik, suamiku. Mungkin tidak seharusnya aku memanggilmu dengan kata-kata itu lagi, aku terdengar sangat-sangat bodoh.

 

Hiduplah dengan bahagia, Xi Luhan. Dan ingatlah untuk selalu makan dengan teratur, istrirahat dan tidur dengan cukup. Walaupun aku tidak ada disampingmu lagi namun kau harus tetap menjaga dirimu untuk tetap sehat. Masih banyak pekerjaan yang harus kau kerjakan, hidupmu masih panjang, sayang.

 

Walaupun ini terdengar egois, bolehkah aku memintamu untuk tetap mengenangku? Mengingatku seperti kau yang tidak pernah melupakan Seohyun walaupun hanya untuk sedetik. Aku tidak meminta banyak, sishkanlah waktu mu untukku walaupun itu hanya 10 sedtik setiap harinya, setidaknya aku tahu bahwa aku masih tetap hidup dalam pikiranmu.

Jaga dirimu baik-baik. Peluk dan sayang, wanita yang mencintaimu.

 

Im Yoona

 

Luhan tidak dapat mengontrol air mata yang mengalir deras di pipinya. Dengan cepat dirinya sadar dan langsung menyebarkan pandangannya, berusaha mencari sosok istrinya smabil berteriak memanggil namanya. Sudah 10 menit berlalu namun Luhan tetap tidak menemukan Yoona. Bagaimana jika dirinya sudah terlambat? Bagaimana jika Yoona sudah meloncat dari atas tebing yang tinggi dan curan seperti ini? Tidak. Luhan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kencang, berusaha membuang pikiran-pikiran jelek dari dalam kepalanya.

“YOONA!” Luhan kembali berteriak dan berlari kesana kemari seperti orang gila namun dia tetap tidak menemukan sosok istrinya itu. Luhan terjatuh lemas dan tersungkur, dia menangis dengan kencang sambil berteriak memanggil-manggil nama istri yang baru dia sadari bahwa dia sangat mencintainya.

“Luhan.” sebuah suara lembut memanggil nama Luhan, membuat pria itu menghentikan tangisannya. Luhan mengangkat kepalanya dan mendapati Yoona tengah berdiri diujung tebing dengan kepalanya yang menoleh ke belakang untuk melihat suaminya untuk kali terakhirnya. Wajah wanita itu mengkilat karena air mata nya belum mongering sepenuhnya.

“YOONA!” Luhan berteriak kencang dan buru-buru bangkit, menarik tangan Yoona dan membawa tubuh istrinya itu masuk ke dalam pelukannya. “Aku mohon, jangan pernah tinggalkan aku,” ujarnya masih dalam isakannya.

“Tapi aku pikir kau akan lebih bahagia jika tidak bersamaku,” jawab Yoona pelan.

“Jika kau memang berpikir seperti itu, aku tidak perlu mati, Yoona. Kau bisa meminta cerai dariku tapi tidak dengan ini!” Luhan berseru keras.

“Jadi kau mengingkan perceraian?” tanya Yoona pelan. Luhan menggeleng dengan cepat, “tidak! AKu tidak ingin berpisah darimu, Yoong. Aku mencintaimu.”

Yoona mendrorong tubuh Luhan menjauh darinya dan dengan pelan dia menggelengkan kepalanya beberapa kali, “kau tidak mencintaiku Luhan, kau tidak pernah mencintaiku.”

Luhan berjalan mendekat dengan perlahan, dengan air mata yang masih mengalir dan terus mengalir di wajah putih mulusnya. “Percayalah padaku, Yoong. Aku mecintaimu. Aku sadar bahwa aku sudah lama mencintaimu, hanya saja selama ini aku terlalu bodoh dan melankonis.”

Yoona menghentikan kepalanya, berusaha mencari kebohongan di dalam mata suaminya namun semua itu percuma. Seberapa besar usaha Yoona untuk mengelak dan meyakinkan dirinya bahwa Luhan sedang berbohong namun kebohongan itu sediri tidak dapat dia temukan dari dalam mata suaminya yang basah.

“Aku mohon, Yoong. Percayalah padaku, kembalilah padaku. Kita bangun rumah tangga ini dari awal, aku ingin menikah denganmu sekali lagi, Yoong. Aku merasa pernikahan kita selama ini hanyalah sebuah sandiwara, permainan. Namun kali ini, aku ingin benar-benar menikah denganmu, menikah dengan Im Yoona, bukan menikah dengan wanita yang selama ini berpura-pura menjadi Seo Joohyun.”

Tangis Yoona yang sudah ditahannya selama beberap menit akhirnya pecah. Dinding pertahanannya telah runtuh karena kata-kata Luhan. Yoona yang sudah tidak bisa merasakan kakinya lagi hanya pasrah ketika tubuhnya jatuh ke tanah. Dengan cepat Luhan menghampiri wanita itu dan memeluknya dengan erat, sangat erat seakan ada sesuatu yang hendak mengambil wanita itu darinya.

“Kita akan menikah, Yoong, setelah iu kita akan tinggal di pinggir pantai seperti yang selalu kau inginkan. Kita akan hidup bahagia dengan anak-anak kita kelak. AKu berjanji aku akan membahagiakanmu, Yoona. Aku berjanji.” Luhan berkata tanpa melepaskan pelukannya dari tubuh Yoona.

“Benarkah? Benarkah kau akan melakukan itu semua?” tanya Yoona pelan. Luhan menggangguk dengan semangat walaupun tidak mengeluarkan suara apa-apa.

“Luhan, bisakah kau mengatakan hal itu sekali lagi?” pinta Yoona.

“Apa? Apa yang harus aku katakan, Yoong? Aku akan melakukan apapun yang kau inginkan.”

“Katakan sekali lagi bahwa kau mencintaiku.”

“Aku mencintaimu, Yoong. Aku benar-benar mencintaimu.”

14 komentar di “[One-Shot] As Another Woman

  1. wah pairing yoona ama luhan lagi….baru aja di blog sebelah baca ff yang pairingnya sama…
    lama2 aku jadi suka deh ama couple ini..
    ceritanya bagus bangettt, feelnya dapet..
    lanjutkan!!!!!!

Tinggalkan Balasan ke Salsabilla Batalkan balasan